Regulasi

3. Undang-undang No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2016
TENTANG
PENYANDANG DISABILITAS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara,
termasuk para penyandang disabilitas yang
mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak
asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara
Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari warga negara dan masyarakat Indonesia
merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, untuk hidup maju dan berkembang secara adil
dan bermartabat;
b. bahwa sebagian besar penyandang disabilitas di
Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang,
dan/atau miskin disebabkan masih adanya
pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan
atau penghilangan hak penyandang disabilitas;
c. bahwa untuk mewujudkan kesamaan hak dan
kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju
kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa
diskriminasi diperlukan peraturan perundangundangan yang dapat menjamin pelaksanaannya;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, sudah tidak sesuai lagi dengan
paradigma kebutuhan penyandang disabilitas
sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang
baru;
e. bahwa . . .
– 2 –
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Penyandang Disabilitas;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1),
ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan Pasal 28J Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENYANDANG
DISABILITAS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,
dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
2. Kesamaan . . .
– 3 –
2. Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang
memberikan peluang dan/atau menyediakan akses
kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan
potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara
dan masyarakat.
3. Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengecualian
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar
disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada
pembatasan atau peniadaan pengakuan, penikmatan,
atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
4. Penghormatan adalah sikap menghargai atau
menerima keberadaan Penyandang Disabilitas dengan
segala hak yang melekat tanpa berkurang.
5. Pelindungan adalah upaya yang dilakukan secara
sadar untuk melindungi, mengayomi, dan
memperkuat hak Penyandang Disabilitas.
6. Pemenuhan adalah upaya yang dilakukan untuk
memenuhi, melaksanakan, dan mewujudkan hak
Penyandang Disabilitas.
7. Pemberdayaan adalah upaya untuk menguatkan
keberadaan Penyandang Disabilitas dalam bentuk
penumbuhan iklim dan pengembangan potensi
sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi
individu atau kelompok Penyandang Disabilitas yang
tangguh dan mandiri.
8. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan
untuk Penyandang Disabilitas guna mewujudkan
Kesamaan Kesempatan.
9. Akomodasi yang Layak adalah modifikasi dan
penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk
menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak
asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk
Penyandang Disabilitas berdasarkan kesetaraan.
10. Alat . . .
– 4 –
10. Alat Bantu adalah benda yang berfungsi membantu
kemandirian Penyandang Disabilitas dalam
melakukan kegiatan sehari-hari.
11. Alat Bantu Kesehatan adalah benda yang berfungsi
mengoptimalkan fungsi anggota tubuh Penyandang
Disabilitas berdasarkan rekomendasi dari tenaga
medis.
12. Konsesi adalah segala bentuk potongan biaya yang
diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau setiap orang kepada Penyandang Disabilitas
berdasarkan kebijakan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah.
13. Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik.
14. Unit Layanan Disabilitas adalah bagian dari satu
institusi atau lembaga yang berfungsi sebagai
penyedia layanan dan fasilitas untuk Penyandang
Disabilitas.
15. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan,
pengusaha, badan hukum, atau badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
16. Komisi Nasional Disabilitas yang selanjutnya
disingkat KND adalah lembaga nonstruktural yang
bersifat independen.
17. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau
korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum.
18. Pemerintah . . .
– 5 –
18. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
19. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang sosial.
Pasal 2
Pelaksanaan dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas berasaskan:
a. Penghormatan terhadap martabat;
b. otonomi individu;
c. tanpa Diskriminasi;
d. partisipasi penuh;
e. keragaman manusia dan kemanusiaan;
f. Kesamaan Kesempatan;
g. kesetaraan;
h. Aksesibilitas;
i. kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak;
j. inklusif; dan
k. perlakuan khusus dan Pelindungan lebih.
Pasal 3 . . .
– 6 –
Pasal 3
Pelaksanaan dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas bertujuan:
a. mewujudkan Penghormatan, pemajuan, Pelindungan,
dan Pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan
dasar Penyandang Disabilitas secara penuh dan
setara;
b. menjamin upaya Penghormatan, pemajuan,
Pelindungan, dan Pemenuhan hak sebagai martabat
yang melekat pada diri Penyandang Disabilitas;
c. mewujudkan taraf kehidupan Penyandang Disabilitas
yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin,
mandiri, serta bermartabat;
d. melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran
dan eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan
diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia;
dan
e. memastikan pelaksanaan upaya Penghormatan,
pemajuan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas untuk mengembangkan diri
serta mendayagunakan seluruh kemampuan sesuai
bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati,
berperan serta berkontribusi secara optimal, aman,
leluasa, dan bermartabat dalam segala aspek
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
BAB II
RAGAM PENYANDANG DISABILITAS
Pasal 4
(1) Ragam Penyandang Disabilitas meliputi:
a. Penyandang Disabilitas fisik;
b. Penyandang Disabilitas intelektual;
c. Penyandang . . .
– 7 –
c. Penyandang Disabilitas mental; dan/atau
d. Penyandang Disabilitas sensorik.
(2) Ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dialami secara tunggal,
ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang
ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
HAK PENYANDANG DISABILITAS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Penyandang Disabilitas memiliki hak:
a. hidup;
b. bebas dari stigma;
c. privasi;
d. keadilan dan perlindungan hukum;
e. pendidikan;
f. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;
g. kesehatan;
h. politik;
i. keagamaan;
j. keolahragaan;
k. kebudayaan dan pariwisata;
l. kesejahteraan sosial;
m. Aksesibilitas;
n. Pelayanan Publik;
o. Pelindungan dari bencana;
p. habilitasi dan rehabilitasi;
q. Konsesi;
r. pendataan . . .
– 8 –
r. pendataan;
s. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam
masyarakat;
t. berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh
informasi;
u. berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan
v. bebas dari tindakan Diskriminasi, penelantaran,
penyiksaan, dan eksploitasi.
(2) Selain hak Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perempuan dengan
disabilitas memiliki hak:
a. atas kesehatan reproduksi;
b. menerima atau menolak penggunaan alat
kontrasepsi;
c. mendapatkan Pelindungan lebih dari perlakuan
Diskriminasi berlapis; dan
d. untuk mendapatkan Pelindungan lebih dari
tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan
eksploitasi seksual.
(3) Selain hak Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), anak penyandang disabilitas
memiliki hak:
a. mendapatkan Pelindungan khusus dari
Diskriminasi, penelantaran, pelecehan,
eksploitasi, serta kekerasan dan kejahatan
seksual;
b. mendapatkan perawatan dan pengasuhan
keluarga atau keluarga pengganti untuk tumbuh
kembang secara optimal;
c. dilindungi kepentingannya dalam pengambilan
keputusan;
d. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan
martabat dan hak anak;
e. Pemenuhan kebutuhan khusus;
f. perlakuan . . .
– 9 –
f. perlakuan yang sama dengan anak lain untuk
mencapai integrasi sosial dan pengembangan
individu; dan
g. mendapatkan pendampingan sosial.
Bagian Kedua
Hak Hidup
Pasal 6
Hak hidup untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. atas Penghormatan integritas;
b. tidak dirampas nyawanya;
c. mendapatkan perawatan dan pengasuhan yang
menjamin kelangsungan hidupnya;
d. bebas dari penelantaran, pemasungan, pengurungan,
dan pengucilan;
e. bebas dari ancaman dan berbagai bentuk eksploitasi;
dan
f. bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan
martabat manusia.
Bagian Ketiga
Hak Bebas dari Stigma
Pasal 7
Hak bebas dari stigma untuk Penyandang Disabilitas
meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan
pelabelan negatif terkait kondisi disabilitasnya.
Bagian . . .
– 10 –
Bagian Keempat
Hak Privasi
Pasal 8
Hak privasi untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. diakui sebagai manusia pribadi yang dapat menuntut
dan memperoleh perlakuan serta Pelindungan yang
sama sesuai dengan martabat manusia di depan
umum;
b. membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah;
c. Penghormatan rumah dan keluarga;
d. mendapat Pelindungan terhadap kehidupan pribadi
dan keluarga; dan
e. dilindungi kerahasiaan atas data pribadi, suratmenyurat, dan bentuk komunikasi pribadi lainnya,
termasuk data dan informasi kesehatan.
Bagian Kelima
Hak Keadilan dan Perlindungan Hukum
Pasal 9
Hak keadilan dan perlindungan hukum untuk
Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. atas perlakuan yang sama di hadapan hukum;
b. diakui sebagai subjek hukum;
c. memiliki dan mewarisi harta bergerak atau tidak
bergerak;
d. mengendalikan masalah keuangan atau menunjuk
orang untuk mewakili kepentingannya dalam urusan
keuangan;
e. memperoleh akses terhadap pelayanan jasa
perbankan dan nonperbankan;
f. memperoleh . . .
– 11 –
f. memperoleh penyediaan Aksesibilitas dalam
pelayanan peradilan;
g. atas Pelindungan dari segala tekanan, kekerasan,
penganiayaan, Diskriminasi, dan/atau perampasan
atau pengambilalihan hak milik;
h. memilih dan menunjuk orang untuk mewakili
kepentingannya dalam hal keperdataan di dalam dan
di luar pengadilan; dan
i. dilindungi hak kekayaan intelektualnya.
Bagian Keenam
Hak Pendidikan
Pasal 10
Hak pendidikan untuk Penyandang Disabilitas meliputi
hak:
a. mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan
pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan secara inklusif dan khusus;
b. mempunyai Kesamaan Kesempatan untuk menjadi
pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan;
c. mempunyai Kesamaan Kesempatan sebagai
penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan
pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan; dan
d. mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai peserta
didik.
Bagian . . .
– 12 –
Bagian Ketujuh
Hak Pekerjaan, Kewirausahaan,
dan Koperasi
Pasal 11
Hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi untuk
Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa
Diskriminasi;
b. memperoleh upah yang sama dengan tenaga kerja
yang bukan Penyandang Disabilitas dalam jenis
pekerjaan dan tanggung jawab yang sama;
c. memperoleh Akomodasi yang Layak dalam pekerjaan;
d. tidak diberhentikan karena alasan disabilitas;
e. mendapatkan program kembali bekerja;
f. penempatan kerja yang adil, proporsional, dan
bermartabat;
g. memperoleh kesempatan dalam mengembangkan
jenjang karier serta segala hak normatif yang melekat
di dalamnya; dan
h. memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri,
wiraswasta, pengembangan koperasi, dan memulai
usaha sendiri.
Bagian Kedelapan
Hak Kesehatan
Pasal 12
Hak kesehatan untuk Penyandang Disabilitas meliputi
hak:
a. memperoleh informasi dan komunikasi yang mudah
diakses dalam pelayanan kesehatan;
b. memperoleh . . .
– 13 –
b. memperoleh kesamaan dan kesempatan akses atas
sumber daya di bidang kesehatan;
c. memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau;
d. memperoleh kesamaan dan kesempatan secara
mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya;
e. memperoleh Alat Bantu Kesehatan berdasarkan
kebutuhannya;
f. memperoleh obat yang bermutu dengan efek samping
yang rendah;
g. memperoleh Pelindungan dari upaya percobaan
medis; dan
h. memperoleh Pelindungan dalam penelitian dan
pengembangan kesehatan yang mengikutsertakan
manusia sebagai subjek.
Bagian Kesembilan
Hak Politik
Pasal 13
Hak politik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. memilih dan dipilih dalam jabatan publik;
b. menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun
lisan;
c. memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi
peserta dalam pemilihan umum;
d. membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus
organisasi masyarakat dan/atau partai politik;
e. membentuk dan bergabung dalam organisasi
Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili
Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional,
dan internasional;
f. berperan . . .
– 14 –
f. berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan
umum pada semua tahap dan/atau bagian
penyelenggaraannya;
g. memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana
penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan
gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala
desa atau nama lain; dan
h. memperoleh pendidikan politik.
Bagian Kesepuluh
Hak Keagamaan
Pasal 14
Hak keagamaan untuk Penyandang Disabilitas meliputi
hak:
a. memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan
beribadat menurut agama dan kepercayaannya;
b. memperoleh kemudahan akses dalam memanfaatkan
tempat peribadatan;
c. mendapatkan kitab suci dan lektur keagamaan
lainnya yang mudah diakses berdasarkan
kebutuhannya;
d. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
pada saat menjalankan ibadat menurut agama dan
kepercayaannya; dan
e. berperan aktif dalam organisasi keagamaan.
Bagian Kesebelas
Hak Keolahragaan
Pasal 15
Hak keolahragaan untuk Penyandang Disabilitas meliputi
hak:
a. melakukan . . .
– 15 –
a. melakukan kegiatan keolahragaan;
b. mendapatkan penghargaan yang sama dalam
kegiatan keolahragaan;
c. memperoleh pelayanan dalam kegiatan keolahragaan;
d. memperoleh sarana dan prasarana keolahragaan yang
mudah diakses;
e. memilih dan mengikuti jenis atau cabang olahraga;
f. memperoleh pengarahan, dukungan, bimbingan,
pembinaan, dan pengembangan dalam keolahragaan;
g. menjadi pelaku keolahragaan;
h. mengembangkan industri keolahragaan; dan
i. meningkatkan prestasi dan mengikuti kejuaraan di
semua tingkatan.
Bagian Kedua Belas
Hak Kebudayaan dan Pariwisata
Pasal 16
Hak kebudayaan dan pariwisata untuk Penyandang
Disabilitas meliputi hak:
a. memperoleh kesamaan dan kesempatan untuk
berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan seni dan
budaya;
b. memperoleh Kesamaan Kesempatan untuk
melakukan kegiatan wisata, melakukan usaha
pariwisata, menjadi pekerja pariwisata, dan/atau
berperan dalam proses pembangunan pariwisata; dan
c. mendapatkan kemudahan untuk mengakses,
perlakuan, dan Akomodasi yang Layak sesuai dengan
kebutuhannya sebagai wisatawan.
Bagian . . .
– 16 –
Bagian Ketiga Belas
Hak Kesejahteraan Sosial
Pasal 17
Hak kesejahteraan sosial untuk Penyandang Disabilitas
meliputi hak rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
Bagian Keempat Belas
Hak Aksesibilitas
Pasal 18
Hak Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas meliputi
hak:
a. mendapatkan Aksesibilitas untuk memanfaatkan
fasilitas publik; dan
b. mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai bentuk
Aksesibilitas bagi individu.
Bagian Kelima Belas
Hak Pelayanan Publik
Pasal 19
Hak Pelayanan Publik untuk Penyandang Disabilitas
meliputi hak:
a. memperoleh Akomodasi yang Layak dalam Pelayanan
Publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa
Diskriminasi; dan
b. pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan
fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan
publik tanpa tambahan biaya.
Bagian . . .
– 17 –
Bagian Keenam Belas
Hak Pelindungan dari Bencana
Pasal 20
Hak Pelindungan dari bencana untuk Penyandang
Disabilitas meliputi hak:
a. mendapatkan informasi yang mudah diakses akan
adanya bencana;
b. mendapatkan pengetahuan tentang pengurangan
risiko bencana;
c. mendapatkan prioritas dalam proses penyelamatan
dan evakuasi dalam keadaan bencana;
d. mendapatkan fasilitas dan sarana penyelamatan dan
evakuasi yang mudah diakses; dan
e. mendapatkan prioritas, fasilitas, dan sarana yang
mudah diakses di lokasi pengungsian.
Bagian Ketujuh Belas
Hak Habilitasi dan Rehabilitasi
Pasal 21
Hak habilitasi dan rehabilitasi untuk Penyandang
Disabilitas meliputi hak:
a. mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi sejak dini
dan secara inklusif sesuai dengan kebutuhan;
b. bebas memilih bentuk rehabilitasi yang akan diikuti;
dan
c. mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi yang tidak
merendahkan martabat manusia.
Bagian . . .
– 18 –
Bagian Kedelapan Belas
Hak Pendataan
Pasal 22
Hak pendataan untuk Penyandang Disabilitas meliputi
hak:
a. didata sebagai penduduk dengan disabilitas dalam
kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil;
b. mendapatkan dokumen kependudukan; dan
c. mendapatkan kartu Penyandang Disabilitas.
Bagian Kesembilan Belas
Hak Hidup Secara Mandiri
dan Dilibatkan dalam Masyarakat
Pasal 23
Hak hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam
masyarakat untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. mobilitas pribadi dengan penyediaan Alat Bantu dan
kemudahan untuk mendapatkan akses;
b. mendapatkan kesempatan untuk hidup mandiri di
tengah masyarakat;
c. mendapatkan pelatihan dan pendampingan untuk
hidup secara mandiri;
d. menentukan sendiri atau memperoleh bantuan dari
Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
menetapkan tempat tinggal dan/atau pengasuhan
keluarga atau keluarga pengganti;
e. mendapatkan akses ke berbagai pelayanan, baik yang
diberikan di dalam rumah, di tempat permukiman,
maupun dalam masyarakat; dan
f. mendapatkan akomodasi yang wajar untuk berperan
serta dalam kehidupan bermasyarakat.
Bagian . . .
– 19 –
Bagian Kedua Puluh
Hak Berekspresi, Berkomunikasi,
dan Memperoleh Informasi
Pasal 24
Hak berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh
informasi untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:
a. memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat;
b. mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui
media yang mudah diakses; dan
c. menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan
komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, dan
komunikasi augmentatif dalam interaksi resmi.
Bagian Kedua Puluh Satu
Hak Kewarganegaraan
Pasal 25
Hak kewarganegaraan untuk Penyandang Disabilitas
meliputi hak:
a. berpindah, mempertahankan, atau memperoleh
kewarganegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. memperoleh, memiliki, dan menggunakan dokumen
kewarganegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
c. keluar atau masuk wilayah Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian . . .
– 20 –
Bagian Kedua Puluh Dua
Hak Bebas dari Diskriminasi, Penelantaran,
Penyiksaan, dan Eksploitasi
Pasal 26
Hak bebas dari Diskriminasi, penelantaran, penyiksaan,
dan eksploitasi untuk Penyandang Disabilitas meliputi
hak:
a. bersosialisasi dan berinteraksi dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara tanpa
rasa takut; dan
b. mendapatkan Pelindungan dari segala bentuk
kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual.
BAB IV
PELAKSANAAN PENGHORMATAN, PELINDUNGAN,
DAN PEMENUHAN HAK PENYANDANG DISABILITAS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 27
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi tentang
pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan
Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
(2) Dalam hal efektivitas pelaksanaan Penghormatan,
Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
merumuskannya dalam rencana induk.
(3) Ketentuan . . .
– 21 –
(3) Ketentuan mengenai perencanaan, penyelenggaraan,
dan evaluasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Keadilan dan Perlindungan Hukum
Pasal 28
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin dan
melindungi hak Penyandang Disabilitas sebagai subjek
hukum untuk melakukan tindakan hukum yang sama
dengan lainnya.
Pasal 29
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan
bantuan hukum kepada Penyandang Disabilitas dalam
setiap pemeriksaan pada setiap lembaga penegak hukum
dalam hal keperdataan dan/atau pidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
(1) Penegak hukum sebelum memeriksa Penyandang
Disabilitas wajib meminta pertimbangan atau saran
dari:
a. dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengenai
kondisi kesehatan;
b. psikolog atau psikiater mengenai kondisi
kejiwaan; dan/atau
c. pekerja sosial mengenai kondisi psikososial.
(2) Dalam hal pertimbangan atau saran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak memungkinkan
dilakukan pemeriksaan, maka dilakukan penundaan
hingga waktu tertentu.
Pasal 31 . . .
– 22 –
Pasal 31
Penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan terhadap
anak penyandang disabilitas wajib mengizinkan kepada
orang tua atau keluarga anak dan pendamping atau
penerjemah untuk mendampingi anak penyandang
disabilitas.
Pasal 32
Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap
berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
Pasal 33
(1) Penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 diajukan melalui permohonan kepada
pengadilan negeri tempat tinggal Penyandang
Disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada alasan yang jelas dan wajib
menghadirkan atau melampirkan bukti dari dokter,
psikolog, dan/atau psikiater.
(3) Keluarga Penyandang Disabilitas berhak menunjuk
seseorang untuk mewakili kepentingannya pada saat
Penyandang Disabilitas ditetapkan tidak cakap oleh
pengadilan negeri.
(4) Dalam hal seseorang sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditunjuk mewakili kepentingan Penyandang
Disabilitas melakukan tindakan yang berdampak
kepada bertambah, berkurang, atau hilangnya hak
kepemilikan Penyandang Disabilitas wajib mendapat
penetapan dari pengadilan negeri.
Pasal 34 . . .
– 23 –
Pasal 34
(1) Penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 dapat dibatalkan.
(2) Pembatalan penetapan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke
pengadilan negeri tempat tinggal Penyandang
Disabilitas.
(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh Penyandang Disabilitas atau
keluarganya dengan menghadirkan atau melampirkan
bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater bahwa
yang bersangkutan dinilai mampu dan cakap untuk
mengambil keputusan.
Pasal 35
Proses peradilan pidana bagi Penyandang Disabilitas
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara
pidana.
Pasal 36
(1) Lembaga penegak hukum wajib menyediakan
Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas
dalam proses peradilan.
(2) Ketentuan mengenai Akomodasi yang Layak untuk
Penyandang Disabilitas dalam proses peradilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
(1) Rumah tahanan negara dan lembaga
permasyarakatan wajib menyediakan Unit Layanan
Disabilitas.
(2) Unit . . .
– 24 –
(2) Unit Layanan Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berfungsi:
a. menyediakan pelayanan masa adaptasi bagi
tahanan Penyandang Disabilitas selama 6 (enam)
bulan;
b. menyediakan kebutuhan khusus, termasuk obat–
obatan yang melekat pada Penyandang Disabilitas
dalam masa tahanan dan pembinaan; dan
c. menyediakan layanan rehabilitasi untuk
Penyandang Disabilitas mental.
Pasal 38
Pembantaran terhadap Penyandang Disabilitas mental
wajib ditempatkan dalam layanan rumah sakit jiwa atau
pusat rehabilitasi.
Pasal 39
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
sosialisasi perlindungan hukum kepada masyarakat
dan aparatur negara tentang Pelindungan
Penyandang Disabilitas.
(2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pencegahan;
b. pengenalan tindak pidana; dan
c. laporan dan pengaduan kasus eksploitasi,
kekerasan, dan pelecehan.
Bagian . . .
– 25 –
Bagian Ketiga
Pendidikan
Pasal 40
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi
pendidikan untuk Penyandang Disabilitas di setiap
jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Penyelenggaraan dan/atau fasilitasi pendidikan
untuk Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan dalam sistem pendidikan
nasional melalui pendidikan inklusif dan pendidikan
khusus.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
mengikutsertakan anak penyandang disabilitas dalam
program wajib belajar 12 (dua belas) tahun.
(4) Pemerintah Daerah wajib mengutamakan anak
penyandang disabilitas bersekolah di lokasi yang
dekat tempat tinggalnya.
(5) Pemerintah Daerah memfasilitasi Penyandang
Disabilitas yang tidak berpendidikan formal untuk
mendapatkan ijazah pendidikan dasar dan menengah
melalui program kesetaraan.
(6) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan beasiswa untuk peserta didik
Penyandang Disabilitas berprestasi yang orang tuanya
tidak mampu membiayai pendidikannya.
(7) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan biaya pendidikan untuk anak dari
Penyandang Disabilitas yang tidak mampu membiayai
pendidikannya.
Pasal 41 . . .
– 26 –
Pasal 41
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi
pendidikan inklusif dan pendidikan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) wajib
memfasilitasi Penyandang Disabilitas untuk
mempelajari keterampilan dasar yang dibutuhkan
untuk kemandirian dan partisipasi penuh dalam
menempuh pendidikan dan pengembangan sosial.
(2) Keterampilan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. keterampilan menulis dan membaca huruf braille
untuk Penyandang Disabilitas netra;
b. keterampilan orientasi dan mobilitas;
c. keterampilan sistem dukungan dan bimbingan
sesama Penyandang Disabilitas;
d. keterampilan komunikasi dalam bentuk, sarana,
dan format yang bersifat augmentatif dan
alternatif; dan
e. keterampilan bahasa isyarat dan pemajuan
identitas linguistik dari komunitas Penyandang
Disabilitas rungu.
Pasal 42
(1) Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pembentukan
Unit Layanan Disabilitas untuk mendukung
penyelenggaraan pendidikan inklusif tingkat dasar
dan menengah.
(2) Unit Layanan Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berfungsi:
a. meningkatkan . . .
– 27 –
a. meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga
kependidikan di sekolah reguler dalam menangani
peserta didik Penyandang Disabilitas;
b. menyediakan pendampingan kepada peserta didik
Penyandang Disabilitas untuk mendukung
kelancaran proses pembelajaran;
c. mengembangkan program kompensatorik;
d. menyediakan media pembelajaran dan Alat Bantu
yang diperlukan peserta didik Penyandang
Disabilitas;
e. melakukan deteksi dini dan intervensi dini bagi
peserta didik dan calon peserta didik Penyandang
Disabilitas;
f. menyediakan data dan informasi tentang
disabilitas;
g. menyediakan layanan konsultasi; dan
h. mengembangkan kerja sama dengan pihak atau
lembaga lain dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan peserta didik Penyandang Disabilitas.
(3) Setiap penyelenggara pendidikan tinggi wajib
memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas.
(4) Unit Layanan Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berfungsi:
a. meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga
kependidikan di pendidikan tinggi dalam
menangani peserta didik Penyandang Disabilitas;
b. mengoordinasikan setiap unit kerja yang ada di
perguruan tinggi dalam Pemenuhan kebutuhan
khusus peserta didik Penyandang Disabilitas;
c. mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan
Akomodasi yang Layak;
d. menyediakan layanan konseling kepada peserta
didik Penyandang Disabilitas;
e. melakukan . . .
– 28 –
e. melakukan deteksi dini bagi peserta didik yang
terindikasi disabilitas;
f. merujuk peserta didik yang terindikasi disabilitas
kepada dokter, psikolog, atau psikiater; dan
g. memberikan sosialisasi pemahaman disabilitas
dan sistem pendidikan inklusif kepada pendidik,
tenaga kependidikan, dan peserta didik.
(5) Penyediaan dan peningkatan kompetensi pendidik
dan tenaga kependidikan dalam menangani peserta
didik Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dan ayat (4) huruf a dilakukan
melalui program dan kegiatan tertentu.
(6) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi
pembentukan Unit Layanan Disabilitas di pendidikan
tinggi.
(7) Penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak
membentuk Unit Layanan Disabilitas dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian kegiatan pendidikan;
c. pembekuan izin penyelenggaraan pendidikan; dan
d. pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan.
(8) Ketentuan mengenai mekanisme pemberian sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memfasilitasi lembaga penyelenggara pendidikan
dalam menyediakan Akomodasi yang Layak.
(2) Ketentuan . . .
– 29 –
(2) Ketentuan mengenai penyediaan Akomodasi yang
Layak untuk peserta didik Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(3) Penyelenggara pendidikan yang tidak menyediakan
Akomodasi yang Layak untuk peserta didik
Penyandang Disabilitas dikenai sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian kegiatan pendidikan;
c. pembekuan izin penyelenggaraan pendidikan; dan
d. pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai mekanisme pemberian sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
Perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
keguruan wajib memasukkan mata kuliah tentang
pendidikan inklusif dalam kurikulum.
Bagian Keempat
Pekerjaan, Kewirausahaan, dan Koperasi
Pasal 45
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja,
penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan
pengembangan karier yang adil dan tanpa Diskriminasi
kepada Penyandang Disabilitas.
Pasal 46 . . .
– 30 –
Pasal 46
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memberikan kesempatan kepada Penyandang
Disabilitas untuk mengikuti pelatihan keterampilan
kerja di lembaga pelatihan kerja Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau swasta.
(2) Lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus bersifat inklusif dan mudah diakses.
Pasal 47
Pemberi Kerja dalam proses rekrutmen tenaga kerja
Penyandang Disabilitas dapat:
a. melakukan ujian penempatan untuk mengetahui
minat, bakat, dan kemampuan;
b. menyediakan asistensi dalam proses pengisian
formulir aplikasi dan proses lainnya yang diperlukan;
c. menyediakan alat dan bentuk tes yang sesuai dengan
kondisi disabilitas; dan
d. memberikan keleluasaan dalam waktu pengerjaan tes
sesuai dengan kondisi Penyandang Disabilitas.
Pasal 48
Pemberi Kerja dalam penempatan tenaga kerja
Penyandang Disabilitas dapat:
a. memberikan kesempatan untuk masa orientasi atau
adaptasi di awal masa kerja untuk menentukan apa
yang diperlukan, termasuk penyelenggaraan
pelatihan atau magang;
b. menyediakan tempat bekerja yang fleksibel dengan
menyesuaikan kepada ragam disabilitas tanpa
mengurangi target tugas kerja;
c. menyediakan waktu istirahat;
d. menyediakan . . .
– 31 –
d. menyediakan jadwal kerja yang fleksibel dengan tetap
memenuhi alokasi waktu kerja;
e. memberikan asistensi dalam pelaksanaan pekerjaan
dengan memperhatikan kebutuhan khusus
Penyandang Disabilitas; dan
f. memberikan izin atau cuti khusus untuk pengobatan.
Pasal 49
Pemberi Kerja wajib memberi upah kepada tenaga kerja
Penyandang Disabilitas yang sama dengan tenaga kerja
yang bukan Penyandang Disabilitas dengan jenis
pekerjaan dan tanggung jawab yang sama.
Pasal 50
(1) Pemberi Kerja wajib menyediakan Akomodasi yang
Layak dan fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga
kerja Penyandang Disabilitas.
(2) Pemberi Kerja wajib membuka mekanisme pengaduan
atas tidak terpenuhi hak Penyandang Disabilitas.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyosialisasikan penyediaan Akomodasi yang Layak
dan fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga kerja
Penyandang Disabilitas.
(4) Pemberi Kerja yang tidak menyediakan Akomodasi
yang Layak dan fasilitas yang mudah diakses oleh
tenaga kerja Penyandang Disabilitas dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian kegiatan operasional;
c. pembekuan izin usaha; dan
d. pencabutan izin usaha.
Pasal 51 . . .
– 32 –
Pasal 51
Pemberi Kerja wajib menjamin agar Penyandang
Disabilitas dapat melaksanakan hak berserikat dan
berkumpul dalam lingkungan pekerjaan.
Pasal 52
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
akses yang setara bagi Penyandang Disabilitas terhadap
manfaat dan program dalam sistem jaminan sosial
nasional di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 53
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib
mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen)
Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau
pekerja.
(2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling
sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari
jumlah pegawai atau pekerja.
Pasal 54
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memberikan insentif kepada perusahaan swasta yang
mempekerjakan Penyandang Disabilitas.
(2) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pemberian
insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 55 . . .
– 33 –
Pasal 55
(1) Pemerintah Daerah wajib memiliki Unit Layanan
Disabilitas pada dinas yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan daerah di bidang
ketenagakerjaan.
(2) Tugas Unit Layanan Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. merencanakan Penghormatan, Pelindungan, dan
Pemenuhan hak atas pekerjaan Penyandang
Disabilitas;
b. memberikan informasi kepada Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan perusahaan swasta
mengenai proses rekrutmen, penerimaan,
pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan
kerja, dan pengembangan karier yang adil dan
tanpa Diskriminasi kepada Penyandang
Disabilitas;
c. menyediakan pendampingan kepada tenaga kerja
Penyandang Disabilitas;
d. menyediakan pendampingan kepada Pemberi
Kerja yang menerima tenaga kerja Penyandang
Disabilitas; dan
e. mengoordinasikan Unit Layanan Disabilitas,
Pemberi Kerja, dan tenaga kerja dalam
Pemenuhan dan penyediaan Alat Bantu kerja
untuk Penyandang Disabilitas.
(3) Anggaran pembentukan Unit Layanan Disabilitas
berasal dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Unit Layanan
Disabilitas diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56 . . .
– 34 –
Pasal 56
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan
jaminan, Pelindungan, dan pendampingan kepada
Penyandang Disabilitas untuk berwirausaha dan
mendirikan badan usaha sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan
bantuan dan akses permodalan untuk usaha mandiri,
badan usaha, dan/atau koperasi yang diselenggarakan
oleh Penyandang Disabilitas.
Pasal 58
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memperluas
peluang dalam pengadaan barang dan jasa kepada unit
usaha mandiri yang diselenggarakan oleh Penyandang
Disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 59
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi
pemasaran produk yang dihasilkan oleh unit usaha
mandiri yang diselenggarakan oleh Penyandang
Disabilitas.
Pasal 60 . . .
– 35 –
Pasal 60
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan
pelatihan kewirausahaan kepada Penyandang Disabilitas
yang menjalankan unit usaha mandiri.
Bagian Kelima
Kesehatan
Pasal 61
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta wajib
memastikan fasilitas pelayanan kesehatan menerima
pasien Penyandang Disabilitas.
(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta wajib
menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan kepada
Penyandang Disabilitas tanpa Diskriminasi sesuai
dengan standar dan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 62
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta wajib
memberikan pelayanan kesehatan untuk Penyandang
Disabilitas tanpa Diskriminasi sesuai dengan standar
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelayanan kesehatan bagi Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan
oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan
kewenangan untuk melakukan pelayanan terhadap
Penyandang Disabilitas.
(3) Pemerintah menjamin pelayanan kesehatan bagi
Penyandang Disabilitas dalam program jaminan
kesehatan nasional sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 63 . . .
– 36 –
Pasal 63
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi dan kewenangan dalam pelayanan
kesehatan bagi Penyandang Disabilitas dari fasilitas
kesehatan tingkat pertama sampai ke tingkat lanjut.
(2) Dalam hal tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi dan kewenangan dalam pelayanan
kesehatan bagi Penyandang Disabilitas belum
tersedia, tenaga kesehatan yang ada di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama wajib merujuk
kepada tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi
dan kewenangan dalam pelayanan kesehatan bagi
Penyandang Disabilitas pada fasilitas pelayanan
kesehatan lain.
(3) Merujuk Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara
vertikal dan horizontal.
(4) Rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dilakukan dalam bentuk pengiriman pasien dan
spesimen, dan melalui telemedisin.
(5) Ketentuan mengenai mekanisme rujukan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 64
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
ketersediaan perbekalan kesehatan bagi Penyandang
Disabilitas.
Pasal 65 . . .
– 37 –
Pasal 65
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
ketersediaan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
oleh Penyandang Disabilitas sesuai dengan
kebutuhan dan ragam disabilitasnya.
(2) Ketersediaan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
oleh Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dirancang untuk meminimalkan
hambatan dan mencegah terjadinya disabilitas lebih
lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 66
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
ketersediaan pelayanan rehabilitasi medis sesuai dengan
kebutuhan dan ragam disabilitasnya.
Pasal 67
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin
ketersediaan alat nonkesehatan yang dibutuhkan oleh
Penyandang Disabilitas di fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 68
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyelenggarakan pelatihan tenaga kesehatan di
wilayahnya agar mampu memberikan pelayanan
kesehatan bagi Penyandang Disabilitas.
Pasal 69 . . .
– 38 –
Pasal 69
Tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medis
wajib mendapatkan persetujuan dari Penyandang
Disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 70
Rumah sakit jiwa maupun rumah sakit umum yang
menyediakan pelayanan psikiatri wajib memberikan
pelayanan kepada Penyandang Disabilitas sesuai dengan
standar.
Pasal 71
(1) Fasilitas perawatan untuk pasien Penyandang
Disabilitas mental harus dilaksanakan sesuai dengan
prinsip keselamatan dan kepuasan pasien.
(2) Prinsip keselamatan dan kepuasan pasien
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 72
Segala tindakan medik kepada pasien Penyandang
Disabilitas mental dilaksanakan sesuai dengan standar.
Pasal 73
(1) Penyelenggara pelayanan kesehatan wajib
menyediakan pelayanan informasi tentang disabilitas.
(2) Layanan . . .
– 39 –
(2) Layanan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) termasuk memberikan informasi mengenai
rujukan rehabilitasi lanjutan yang tersedia bagi
Penyandang Disabilitas.
Pasal 74
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
akses bagi Penyandang Disabilitas terhadap
pelayanan air bersih.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak.
Bagian Keenam
Politik
Pasal 75
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
agar Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi
secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan
publik secara langsung atau melalui perwakilan.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas
untuk memilih dan dipilih.
Pasal 76
Penyandang Disabilitas berhak untuk menduduki
jabatan publik.
Pasal 77 . . .
– 40 –
Pasal 77
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak
politik Penyandang Disabilitas dengan memperhatikan
keragaman disabilitas dalam pemilihan umum, pemilihan
gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa
atau nama lain, termasuk:
a. berpartisipasi langsung untuk ikut dalam kegiatan
dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur,
bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau
nama lain;
b. mendapatkan hak untuk didata sebagai pemilih
dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur,
bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau
nama lain;
c. memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan Alat
Bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta
mudah dipahami dan digunakan;
d. melindungi hak Penyandang Disabilitas untuk
memilih secara rahasia tanpa intimidasi;
e. melindungi hak Penyandang Disabilitas untuk
mencalonkan diri dalam pemilihan, untuk memegang
jabatan, dan melaksanakan seluruh fungsi publik
dalam semua tingkat pemerintahan;
f. menjamin Penyandang Disabilitas agar dapat
memanfaatkan penggunaan teknologi baru untuk
membantu pelaksanaan tugas;
g. menjamin kebebasan Penyandang Disabilitas untuk
memilih pendamping sesuai dengan pilihannya
sendiri;
h. mendapatkan informasi, sosialisasi, dan simulasi
dalam setiap tahapan dalam pemilihan umum,
pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan
kepala desa atau nama lain; dan
i. menjamin . . .
– 41 –
i. menjamin terpenuhinya hak untuk terlibat sebagai
penyelenggara dalam pemilihan umum, pemilihan
gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala
desa atau nama lain.
Bagian Ketujuh
Keagamaan
Pasal 78
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melindungi
Penyandang Disabilitas dari tekanan dan Diskriminasi
oleh pihak mana pun untuk memeluk agama dan
kepercayaan masing-masing dan beribadat menurut
agama dan kepercayaannya.
Pasal 79
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
bimbingan dan penyuluhan agama terhadap Penyandang
Disabilitas.
Pasal 80
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mendorong
dan/atau membantu pengelola rumah ibadah untuk
menyediakan sarana dan prasarana yang mudah diakses
oleh Penyandang Disabilitas.
Pasal 81
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan
kitab suci dan lektur keagamaan lain yang mudah
diakses berdasarkan kebutuhan Penyandang Disabilitas.
Pasal 82 . . .
– 42 –
Pasal 82
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengupayakan
ketersediaan penerjemah bahasa isyarat dalam kegiatan
peribadatan.
Bagian Kedelapan
Keolahragaan
Pasal 83
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
mengembangkan sistem keolahragaan untuk
Penyandang Disabilitas yang meliputi:
a. keolahragaan pendidikan;
b. keolahragaan rekreasi; dan
c. keolahragaan prestasi.
(2) Pengembangan sistem keolahragaan untuk
Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan jenis olahraga khusus
untuk Penyandang Disabilitas yang sesuai dengan
kondisi dan ragam disabilitasnya.
Pasal 84
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina dan
mengembangkan olahraga untuk Penyandang Disabilitas
yang dilaksanakan dan diarahkan untuk meningkatkan
kesehatan, rasa percaya diri, dan prestasi olahraga.
Bagian . . .
– 43 –
Bagian Kesembilan
Kebudayaan dan Pariwisata
Pasal 85
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas untuk
mendapatkan layanan kebudayaan dan pariwisata.
(2) Layanan pariwisata yang mudah diakses bagi
Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. tersedianya informasi pariwisata dalam bentuk
audio, visual, dan taktil; dan
b. tersedianya pemandu wisata yang memiliki
kemampuan untuk mendeskripsikan objek wisata
bagi wisatawan Penyandang Disabilitas netra,
memandu wisatawan Penyandang Disabilitas
rungu dengan bahasa isyarat, dan memiliki
keterampilan memberikan bantuan mobilitas.
Pasal 86
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memberikan insentif kepada perusahaan pariwisata
yang menyelenggarakan jasa perjalanan wisata yang
mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas.
(2) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pemberian
insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 87
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
mengembangkan potensi dan kemampuan seni
budaya Penyandang Disabilitas.
(2) Pengembangan . .
.
– 44 –
(2) Pengembangan potensi dan kemampuan seni budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. memfasilitasi dan menyertakan Penyandang
Disabilitas dalam kegiatan seni budaya;
b. mengembangkan kegiatan seni budaya khusus
Penyandang Disabilitas; dan
c. memberikan penghargaan kepada seniman
Penyandang Disabilitas atas karya seni terbaik.
Pasal 88
Penyandang Disabilitas berhak untuk mendapatkan
pengakuan dan dukungan atas identitas budaya dan
linguistik.
Pasal 89
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melindungi
hak kekayaan intelektual Penyandang Disabilitas.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melindungi
dan memajukan budaya masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai kesetaraan hak Penyandang
Disabilitas.
Bagian Kesepuluh
Kesejahteraan Sosial
Pasal 90
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial untuk
Penyandang Disabilitas.
(2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. rehabilitasi . . .
– 45 –
a. rehabilitasi sosial;
b. jaminan sosial;
c. pemberdayaan sosial; dan
d. perlindungan sosial.
Pasal 91
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
akses bagi Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial,
dan perlindungan sosial.
Pasal 92
(1) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dalam bentuk:
a. motivasi dan diagnosis psikososial;
b. perawatan dan pengasuhan;
c. pelatihan vokasional dan pembinaan
kewirausahaan;
d. bimbingan mental spiritual;
e. bimbingan fisik;
f. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g. pelayanan Aksesibilitas;
h. bantuan dan asistensi sosial;
i. bimbingan resosialisasi;
j. bimbingan lanjut; dan/atau
k. rujukan.
(2) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan secara persuasif, motivatif, dan
koersif oleh keluarga, masyarakat, dan institusi
sosial.
Pasal 93 . . .
– 46 –
Pasal 93
(1) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
untuk Penyandang Disabilitas miskin atau yang tidak
memiliki penghasilan.
(2) Jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan
sosial, bantuan langsung berkelanjutan, dan bantuan
khusus.
(3) Bantuan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mencakup pelatihan, konseling, perawatan
sementara, atau bantuan lain yang berkaitan.
Pasal 94
(1) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah melalui:
a. peningkatan kemauan dan kemampuan;
b. penggalian potensi dan sumber daya;
c. penggalian nilai dasar;
d. pemberian akses; dan/atau
e. pemberian bantuan usaha.
(2) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. diagnosis dan pemberian motivasi;
b. pelatihan dan pendampingan;
c. pemberian stimulan;
d. peningkatan akses pemasaran hasil usaha;
e. penguatan kelembagaan dan kemitraan; dan
f. bimbingan lanjut.
Pasal 95 . . .
– 47 –
Pasal 95
Perlindungan sosial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91 dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah melalui:
a. bantuan sosial;
b. advokasi sosial; dan/atau
c. bantuan hukum.
Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi sosial,
jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan
sosial, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesebelas
Infrastruktur
Pasal 97
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
infrastruktur yang mudah diakses oleh Penyandang
Disabilitas.
(2) Infrastruktur yang mudah diakses oleh Penyandang
Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bangunan gedung;
b. jalan;
c. permukiman; dan
d. pertamanan dan permakaman.
Paragraf 1 . . .
– 48 –
Paragraf 1
Bangunan Gedung
Pasal 98
(1) Bangunan gedung yang mudah diakses oleh
Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (2) huruf a memiliki fungsi:
a. hunian;
b. keagamaan;
c. usaha;
d. sosial dan budaya;
e. olahraga; dan
f. khusus.
(2) Bangunan gedung yang mudah diakses oleh
Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilengkapi dengan fasilitas dan
Aksesibilitas dengan mempertimbangkan kebutuhan,
fungsi, luas, dan ketinggian bangunan gedung sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemilik dan/atau pengelola bangunan gedung yang
tidak menyediakan fasilitas yang mudah diakses oleh
Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan;
c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan
pelaksanaan pembangunan;
d. penghentian sementara atau tetap pada
pemanfaatan bangunan gedung;
e. pembekuan izin mendirikan bangunan gedung;
f. pencabutan izin mendirikan bangunan gedung;
g. pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan
gedung;
h. pencabutan . . .
– 49 –
h. pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan
gedung; atau
i. perintah pembongkaran bangunan gedung.
(4) Pemberian sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 99
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
mencantumkan ketersediaan fasilitas yang mudah
diakses oleh Penyandang Disabilitas sebagai salah
satu syarat dalam permohonan izin mendirikan
bangunan.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
audit terhadap ketersediaan fasilitas Aksesibilitas
bagi Penyandang Disabilitas pada setiap bangunan
gedung.
(3) Pemeriksaan kelaikan fungsi terhadap ketersediaan
fasilitas dan Aksesibilitas untuk Penyandang
Disabilitas merupakan syarat dalam penerbitan dan
perpanjangan sertifikat laik fungsi bangunan gedung.
(4) Dalam hal bangunan gedung sudah memenuhi syarat
audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Pemerintah wajib menerbitkan sertifikat laik fungsi.
(5) Pemerintah wajib menyusun mekanisme audit
fasilitas Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas.
(6) Pemeriksaan kelaikan fungsi fasilitas dan
Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas
dilaksanakan oleh penyedia jasa pengawasan atau
manajemen konstruksi bersertifikat.
(7) pemeriksaan . . .
– 50 –
(7) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dilaksanakan dengan mengikutsertakan organisasi
Penyandang Disabilitas dan/atau Penyandang
Disabilitas yang memiliki keahlian di bidang
bangunan gedung.
Pasal 100
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi
penyediaan fasilitas yang mudah diakses pada bangunan
rumah tinggal tunggal yang dihuni oleh Penyandang
Disabilitas.
Paragraf 2
Jalan
Pasal 101
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan fasilitas untuk pejalan kaki yang mudah
diakses oleh Penyandang Disabilitas.
(2) Fasilitas untuk pejalan kaki yang mudah diakses
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 102
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan tempat penyeberangan pejalan kaki
yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas.
(2) Persyaratan mengenai tempat penyeberangan pejalan
kaki yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Paragraf 3 . . .
– 51 –
Paragraf 3
Pertamanan dan Permakaman
Pasal 103
(1) Pemerintah Daerah menyediakan fasilitas umum
lingkungan pertamanan dan permakaman umum
yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas.
(2) Pertamanan dan permakaman yang mudah diakses
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi
dengan fasilitas dan Aksesibilitas bagi Penyandang
Disabilitas.
Paragraf 4
Permukiman
Pasal 104
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi
permukiman yang mudah diakses oleh Penyandang
Disabilitas.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengawasi
dan memastikan seluruh permukiman yang dibangun
oleh pengembang memiliki Aksesibilitas bagi
Penyandang Disabilitas.
(3) Pengembang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
termasuk pihak swasta dan Badan Usaha Milik
Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai permukiman yang
mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian . . .
– 52 –
Bagian Kedua Belas
Pelayanan Publik
Pasal 105
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan Pelayanan Publik yang mudah diakses
oleh Penyandang Disabilitas sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) termasuk pelayanan jasa transportasi publik.
(3) Pelayanan Publik yang mudah diakses sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen
yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk
kegiatan Pelayanan Publik, dan badan hukum lain
yang dibentuk untuk Pelayanan Publik.
(4) Pendanaan Pelayanan Publik bagi Penyandang
Disabilitas bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. anggaran dan pendapatan belanja daerah;
dan/atau
c. anggaran korporasi atau badan hukum yang
menyelenggarakan Pelayanan Publik.
Pasal 106
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyebarluaskan dan menyosialisasikan Pelayanan
Publik yang mudah diakses sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 105 kepada Penyandang Disabilitas dan
masyarakat.
(2) Penyelenggara Pelayanan Publik wajib menyediakan
panduan Pelayanan Publik yang mudah diakses oleh
Penyandang Disabilitas.
Pasal 107 . . .
– 53 –
Pasal 107
(1) Pelayanan jasa transportasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 105 ayat (2) terdiri dari pelayanan jasa
transportasi darat, transportasi kereta api,
transportasi laut, dan transportasi udara.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat bekerja
sama dengan korporasi atau badan hukum dalam
menyediakan pelayanan jasa transportasi publik.
Pasal 108
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Publik yang
mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Belas
Pelindungan dari Bencana
Pasal 109
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil
langkah yang diperlukan untuk menjamin
penanganan Penyandang Disabilitas pada tahap
prabencana, saat tanggap darurat, dan
pascabencana.
(2) Penanganan Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan
Akomodasi yang Layak dan Aksesibilitas untuk
Penyandang Disabilitas.
(3) Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi dalam
penanggulangan bencana.
(4) Ketentuan . . .
– 54 –
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan
Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) serta partisipasi Penyandang
Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Belas
Habilitasi dan Rehabilitasi
Pasal 110
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan atau memfasilitasi layanan habilitasi
dan rehabilitasi untuk Penyandang Disabilitas.
(2) Habilitasi dan rehabilitasi untuk Penyandang
Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan:
a. mencapai, mempertahankan, dan
mengembangkan kemandirian, kemampuan fisik,
mental, sosial, dan keterampilan Penyandang
Disabilitas secara maksimal; dan
b. memberi kesempatan untuk berpartisipasi dan
berinklusi di seluruh aspek kehidupan.
Pasal 111
Habilitasi dan rehabilitasi untuk Penyandang Disabilitas
berfungsi sebagai:
a. sarana pendidikan dan pelatihan keterampilan hidup;
b. sarana antara dalam mengatasi kondisi
disabilitasnya; dan
c. sarana untuk mempersiapkan Penyandang Disabilitas
agar dapat hidup mandiri dalam masyarakat.
Pasal 112 . . .
– 55 –
Pasal 112
Penanganan habilitasi dan rehabilitasi Penyandang
Disabilitas dilakukan dalam bentuk:
a. layanan habilitasi dan rehabilitasi dalam keluarga
dan masyarakat; dan
b. layanan habilitasi dan rehabilitasi dalam lembaga.
Pasal 113
Ketentuan lebih lanjut mengenai layanan habilitasi dan
rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima Belas
Konsesi
Pasal 114
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memberikan Konsesi untuk Penyandang Disabilitas.
(2) Ketentuan mengenai besar dan jenis Konsesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 115
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengupayakan
pihak swasta untuk memberikan Konsesi untuk
Penyandang Disabilitas.
Pasal 116
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan
insentif bagi perusahaan swasta yang memberikan
Konsesi untuk Penyandang Disabilitas.
(2) Ketentuan . . .
– 56 –
(2) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pemberian
insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Belas
Pendataan
Pasal 117
(1) Penyelenggaraan pendataan terhadap Penyandang
Disabilitas dilakukan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
sosial secara mandiri atau bersama dengan lembaga
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang statistik berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pendataan terhadap Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk memperoleh data akurat tentang karakteristik
pokok dan rinci Penyandang Disabilitas.
(3) Data akurat tentang Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan
untuk:
a. mengidentifikasi dan mengatasi hambatan yang
dihadapi oleh Penyandang Disabilitas dalam
mendapatkan hak Penyandang Disabilitas; dan
b. membantu perumusan dan implementasi
kebijakan Penghormatan, Pelindungan, dan
Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
Pasal 118
(1) Menteri melakukan verifikasi dan validasi terhadap
hasil pendataan Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1).
(2) Verifikasi . . .
– 57 –
(2) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara berkala paling sedikit 2
(dua) tahun sekali.
Pasal 119
(1) Penyandang Disabilitas yang belum terdata dalam
pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117
dapat secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah
atau kepala desa atau nama lain di tempat
tinggalnya.
(2) Lurah atau kepala desa atau nama lain wajib
menyampaikan pendaftaran atau perubahan data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
bupati/walikota melalui camat.
(3) Bupati/walikota menyampaikan pendaftaran atau
perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri.
(4) Dalam hal diperlukan, bupati/walikota dapat
melakukan verifikasi dan validasi terhadap
pendaftaran atau perubahan data sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 120
(1) Data yang telah diverifikasi dan divalidasi harus
berbasis teknologi informasi dan dijadikan sebagai
data nasional Penyandang Disabilitas.
(2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab Menteri.
(3) Data nasional Penyandang Disabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipergunakan
oleh kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah
Daerah dalam Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas dan dapat diakses oleh masyarakat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Kementerian/ . . .
– 58 –
(4) Kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah
yang menggunakan data nasional Penyandang
Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menyampaikan hasil pelaksanaannya kepada Menteri.
Pasal 121
(1) Penyandang Disabilitas yang telah terdapat dalam
data nasional Penyandang Disabilitas berhak
mendapatkan kartu Penyandang Disabilitas.
(2) Kartu Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikeluarkan oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
sosial.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan kartu
Penyandang Disabilitas diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Ketujuh Belas
Komunikasi dan Informasi
Paragraf 1
Komunikasi
Pasal 122
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengakui,
menerima, dan memfasilitasi komunikasi Penyandang
Disabilitas dengan menggunakan cara tertentu.
(2) Komunikasi dengan menggunakan cara tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara, alat, dan bentuk lainnya yang dapat
dijangkau sesuai dengan pilihan Penyandang
Disabilitas dalam berinteraksi.
Paragraf 2 . . .
– 59 –
Paragraf 2
Informasi
Pasal 123
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
akses atas informasi untuk Penyandang Disabilitas.
(2) Akses atas informasi untuk Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
audio dan visual.
Pasal 124
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan informasi dalam bentuk yang dapat
dijangkau dan dipahami sesuai dengan keragaman
disabilitas dan kondisi tempat tinggalnya.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didapatkan secara tepat waktu dan tanpa biaya
tambahan.
Bagian Kedelapan Belas
Perempuan dan Anak
Pasal 125
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan
unit layanan informasi dan tindak cepat untuk
perempuan dan anak penyandang disabilitas yang
menjadi korban kekerasan.
Pasal 126 . . .
– 60 –
Pasal 126
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan
Pelindungan khusus terhadap perempuan dan anak
penyandang disabilitas sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 127
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan
rumah aman yang mudah diakses untuk perempuan dan
anak penyandang disabilitas yang menjadi korban
kekerasan.
Bagian Kesembilan Belas
Pelindungan dari Tindakan Diskriminasi,
Penelantaran, Penyiksaan, dan Eksploitasi
Pasal 128
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi
Penyandang Disabilitas untuk bersosialisasi dan
berinteraksi dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, dan bernegara tanpa rasa takut.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
Penyandang Disabilitas bebas dari segala bentuk
kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual.
BAB V . . .
– 61 –
BAB V
KOORDINASI
Pasal 129
(1) Pemerintah membentuk mekanisme koordinasi di
tingkat nasional dalam rangka melaksanakan
Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas.
(2) Koordinasi di tingkat nasional dilakukan oleh Menteri
dengan kementerian dan lembaga pemerintah
nonkementerian yang terkait.
(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bertujuan untuk menyelenggarakan dan
menyinkronkan kebijakan, program, dan anggaran
pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan
Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
(4) Dalam koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), Menteri melaksanakan tugas:
a. melakukan sinkronisasi program dan kebijakan
dalam rangka pelaksanaan Penghormatan,
Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas;
b. menjamin pelaksanaan Penghormatan,
Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas berjalan dengan efektif;
c. mewujudkan anggaran pelaksanaan
Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas; dan
d. menyinkronkan penggunaan anggaran
pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan
Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas agar
berjalan dengan efisien.
Pasal 130 . . .
– 62 –
Pasal 130
(1) Pemerintah Daerah membentuk mekanisme
koordinasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
dalam rangka melaksanakan Penghormatan,
Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketentuan mengenai mekanisme koordinasi di tingkat
nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129
ayat (1) berlaku secara mutatis mutandis terhadap
mekanisme koordinasi di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
BAB VI
KOMISI NASIONAL DISABILITAS
Pasal 131
Dalam rangka pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan,
dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas dibentuk
KND sebagai lembaga nonstruktural yang bersifat
independen.
Pasal 132
(1) KND sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131
mempunyai tugas melaksanakan pemantauan,
evaluasi, dan advokasi pelaksanaan Penghormatan,
Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas.
(2) Hasil pemantauan, evaluasi, dan advokasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan
kepada Presiden.
Pasal 133 . . .
– 63 –
Pasal 133
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 132, KND menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan rencana kegiatan KND dalam upaya
pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan
Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas;
b. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas;
c. advokasi pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan,
dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas; dan
d. pelaksanaan kerja sama dalam penanganan
Penyandang Disabilitas dengan pemangku
kepentingan terkait.
Pasal 134
Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja serta
keanggotaan KND diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VII
PENDANAAN
Pasal 135
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
menyediakan anggaran bagi pelaksanaan
Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas.
(2) Pendanaan pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan,
dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
c. sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.
(3) Sumber . . .
– 64 –
(3) Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dikelola
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB VIII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 136
Pemerintah dapat menjalin kerja sama internasional
dengan negara yang mendukung usaha memajukan
Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas.
Pasal 137
(1) Pemerintah wajib mengarusutamakan isu disabilitas
dalam menjalin kerja sama internasional.
(2) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:
a. bertukar informasi dan pengalaman;
b. program pelatihan;
c. praktik terbaik;
d. penelitian;
e. ilmu pengetahuan; dan/atau
f. alih teknologi.
BAB IX . . .
– 65 –
BAB IX
PENGHARGAAN
Pasal 138
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan
penghargaan kepada orang perseorangan yang berjasa
dalam Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas.
Pasal 139
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan
penghargaan kepada badan hukum dan lembaga negara
yang mempekerjakan Penyandang Disabilitas.
Pasal 140
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan
penghargaan kepada penyedia fasilitas publik yang
memenuhi hak Penyandang Disabilitas.
Pasal 141
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian
penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138,
Pasal 139, dan Pasal 140 diatur dalam Peraturan
Presiden.
BAB X
LARANGAN
Pasal 142
Setiap Orang yang ditunjuk mewakili kepentingan
Penyandang Disabilitas dilarang melakukan tindakan
yang berdampak kepada bertambah, berkurang, atau
hilangnya hak kepemilikan Penyandang Disabilitas tanpa
mendapat penetapan dari pengadilan negeri.
Pasal 143 . . .
– 66 –
Pasal 143
Setiap Orang dilarang menghalang-halangi dan/atau
melarang Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan:
a. hak pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10;
b. hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
c. hak kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12;
d. hak politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
e. hak keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14;
f. hak keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15;
g. hak kebudayaan dan pariwisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16;
h. hak kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17;
i. hak Aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18;
j. hak Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19;
k. hak Pelindungan dari bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20;
l. hak habilitasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21;
m. hak pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22;
n. hak hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
o. hak berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
p. hak kewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25;
q. hak . . .
– 67 –
q. hak bebas dari Diskriminasi, penelantaran,
penyiksaan, dan eksploitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26; dan
r. hak keadilan dan perlindungan hukum dalam
memberikan jaminan dan Pelindungan sebagai subjek
hukum untuk melakukan tindakan hukum yang
sama dengan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 144
Setiap Orang yang melakukan tindakan yang berdampak
kepada bertambah, berkurang, atau hilangnya hak
kepemilikan Penyandang Disabilitas tanpa mendapat
penetapan dari pengadilan negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 142 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 145
Setiap Orang yang menghalang-halangi dan/atau
melarang Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan
hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
BAB XII . . .
– 68 –
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 146
Kartu Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 121 ayat (1) berlaku sampai dengan
diterbitkannya kartu identitas kependudukan tunggal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 147
Tindakan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3670) tetap dilaksanakan sampai dengan tindakan
hukum berakhir.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 148
Istilah Penyandang Cacat yang dipakai dalam peraturan
perundang-undangan yang sudah ada sebelum UndangUndang ini berlaku, harus dibaca dan dimaknai sebagai
Penyandang Disabilitas, sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini.
Pasal 149
KND sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 harus
sudah dibentuk paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 150 . . .
– 69 –
Pasal 150
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3670), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
Pasal 151
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UndangUndang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3670), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 152
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 153
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
– 70 –
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 April 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.

JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 April 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 69
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2016
TENTANG
PENYANDANG DISABILITAS
I. UMUM
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia bersifat universal, perlu dilindungi, dihormati, dan
dipertahankan, sehingga Pelindungan dan hak asasi manusia
terhadap kelompok rentan, khususnya Penyandang Disabilitas.
Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas merupakan kewajiban negara. Hal ini juga ditegaskan
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, sehingga masyarakat mempunyai tanggung jawab untuk
menghormati hak Penyandang Disabilitas. Penyandang Disabilitas
selama ini mengalami banyak Diskriminasi yang berakibat belum
terpenuhinya pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.
Selama ini, pengaturan mengenai Penyandang Disabilitas
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, tetapi pengaturan ini belum berperspektif hak
asasi manusia. Materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat lebih bersifat belas kasihan
(charity based) dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas masih
dinilai sebagai masalah sosial yang kebijakan Pemenuhan haknya
baru bersifat jaminan sosial, rehabilitasi sosial, bantuan sosial, dan
peningkatan kesejahteraan sosial. Penyandang Disabilitas seharusnya
mendapatkan kesempatan yang sama dalam upaya mengembangkan
dirinya melalui kemandirian sebagai manusia yang bermartabat.
Dengan . . .
– 2 –
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011
tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with
Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas) tanggal 10
November 2011 menunjukkan komitmen dan kesungguhan
Pemerintah Indonesia untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak Penyandang Disabilitas yang pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan Penyandang
Disabilitas. Dengan demikian, Penyandang Disabilitas berhak untuk
bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan
dan perlakuan semena-mena, serta berhak untuk mendapatkan
Penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan
kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk
mendapatkan Pelindungan dan pelayanan sosial dalam rangka
kemandirian, serta dalam keadaan darurat. Oleh karena itu,
Pemerintah berkewajiban untuk merealisasikan hak yang termuat
dalam konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan,
termasuk menjamin Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas dalam
segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan,
politik dan pemerintahan, kebudayaan dan kepariwisataan, serta
pemanfaatan teknologi, informasi, dan komunikasi.
Jangkauan pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi
Pemenuhan Kesamaan Kesempatan terhadap Penyandang Disabilitas
dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat,
Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas, termasuk penyediaan Aksesibilitas dan Akomodasi yang
Layak. Pengaturan pelaksanaan dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas bertujuan untuk mewujudkan taraf kehidupan Penyandang
Disabilitas yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, serta
bermartabat. Selain itu, pelaksanaan dan Pemenuhan hak juga
ditujukan untuk melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran
dan eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta
pelanggaran hak asasi manusia.
Undang-Undang . . .
– 3 –
Undang-Undang ini antara lain mengatur mengenai ragam
Penyandang Disabilitas, hak Penyandang Disabilitas, pelaksanaan
Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas, koordinasi, Komisi Nasional Disabilitas, pendanaan, kerja
sama internasional, dan penghargaan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas Penghormatan terhadap
martabat” adalah pengakuan terhadap harga diri Penyandang
Disabilitas yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas otonomi individu” adalah hak
setiap Penyandang Disabilitas untuk bertindak atau tidak
bertindak dan bertanggung jawab atas pilihan tindakannya
tersebut.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas partisipasi penuh” adalah
Penyandang Disabiltas berperan serta secara aktif dalam
segala aspek kehidupan sebagai warga negara.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas keragaman manusia dan
kemanusiaan” adalah Penghormatan dan penerimaan
perbedaan terhadap Penyandang Disabilitas sebagai bagian
dari keragaman manusia dan kemanusiaan.
Huruf f . . .
– 4 –
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kesetaraan” adalah kondisi di
berbagai sistem dalam masyarakat dan lingkungan, seperti
pelayanan, kegiatan, informasi, dan dokumentasi yang dibuat
dapat mengakomodasi semua orang termasuk Penyandang
Disabilitas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas fisik”
adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi,
lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP),
akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
Huruf b . . .
– 5 –
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”Penyandang Disabilitas
intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena
tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain
lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental”
adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku,
antara lain:
a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi,
anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada
kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan
hiperaktif.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas
sensorik” adalah terganggunya salah satu fungsi dari
panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas
rungu, dan/atau disabilitas wicara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas ganda atau
multi” adalah Penyandang Disabilitas yang mempunyai dua
atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas runguwicara dan disabilitas netra-tuli.
Yang dimaksud dengan “dalam jangka waktu lama” adalah
jangka waktu paling singkat 6 (enam) bulan dan/atau bersifat
permanen.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
– 6 –
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Diskriminasi berlapis” adalah
Diskriminasi yang dialami perempuan karena jenis
kelaminnya sebagai perempuan dan sebagai Penyandang
Disabilitas sehingga mereka tidak mendapatkan
kesempatan yang sama dalam keluarga, masyarakat, dan
negara di berbagai bidang kehidupan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keluarga pengganti” adalah
orang tua asuh, orang tua angkat, wali, dan/atau
lembaga yang menjalankan peran dan tanggung jawab
untuk memberikan perawatan dan pengasuhan kepada
anak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e . . .
– 7 –
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g . . .
– 8 –
Huruf g
Tekanan, kekerasan, penganiayaan, Diskriminasi, dan/atau
perampasan atau pengambilalihan hak milik antara lain
dalam bentuk pemaksaan tinggal di panti, pemaksaan
penggunaan alat kontrasepsi, pemaksaan mengonsumsi obat
yang membahayakan, pemasungan, penyekapan, atau
pengurungan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pendidikan secara inklusif” adalah
pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas untuk
belajar bersama dengan peserta didik bukan Penyandang
Disabilitas di sekolah reguler atau perguruan tinggi.
Yang dimaksud dengan “pendidikan secara khusus” adalah
pendidikan yang hanya memberikan layanan kepada peserta
didik Penyandang Disabilitas dengan menggunakan
kurikulum khusus, proses pembelajaran khusus, bimbingan,
dan/atau pengasuhan dengan tenaga pendidik khusus dan
tempat pelaksanaannya di tempat belajar khusus.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 11 . .
.
– 9 –
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “program kembali bekerja” adalah
rangkaian tata laksana penanganan kasus kecelakaan kerja
maupun penyakit akibat kerja melalui pelayanan kesehatan,
rehabilitasi, dan pelatihan agar pekerja dapat kembali bekerja.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
– 10 –
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sumber daya di bidang kesehatan”
adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan,
sediaan farmasi dan alat kesehatan, serta fasilitas pelayanan
kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Huruf c
Pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau
termasuk deteksi dan intervensi dini.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum
bahwa setiap Penyandang Disabilitas tidak boleh digunakan
untuk percobaan medis selain menjadi subjek penelitian dan
pengembangan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15 . . .
– 11 –
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Fasilitas yang mudah diakses berbentuk, antara lain alat
media, sarana, dan prasarana.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24 . . .
– 12 –
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “media yang mudah diakses” adalah
media komunikasi yang dapat diakses oleh berbagai ragam
Penyandang Disabilitas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “komunikasi augmentatif” adalah
komunikasi dengan menggunakan Alat Bantu.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
– 13 –
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penundaan hingga waktu tertentu”
adalah penundaan pemeriksaan untuk pengambilan
keterangan yang waktunya ditentukan oleh aparat penegak
hukum berdasarkan pertimbangan dokter atau tenaga
kesehatan lainnya, psikolog atau psikiater, dan/atau pekerja
sosial.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Yang dimaksud dengan “tidak cakap” antara lain orang yang belum
dewasa dan/atau di bawah pengampuan.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “keluarga Penyandang Disabilitas”
adalah keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping
sampai derajat kedua.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36 . . .
– 14 –
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan “pembantaran” adalah penundaan
penahanan sementara terhadap tersangka/terdakwa karena alasan
kesehatan (memerlukan rawat jalan/rawat inap) yang dikuatkan
dengan keterangan dokter.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “jalur pendidikan” adalah jalur formal,
nonformal, dan informal.
Yang dimaksud dengan “jenis pendidikan” adalah pendidikan
umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan keagamaan.
Yang dimaksud dengan “jenjang pendidikan” adalah
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) . . .
– 15 –
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “bahasa isyarat”, termasuk
bahasa isyarat Indonesia (Bisindo).
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
– 16 –
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “program kompensatorik”
adalah tugas alternatif yang diberikan kepada peserta
didik Penyandang Disabilitas sebagai salah satu bentuk
adaptasi dalam proses belajar dan evaluasi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) . . .
– 17 –
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “program dan kegiatan tertentu”,
antara lain pelatihan, pemberian beasiswa untuk tugas
belajar, sertifikasi pendidik, pengangkatan pendidik dan
tenaga kependidikan khusus, serta program dan kegiatan
sejenis lainnya.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49 . . .
– 18 –
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Insentif kepada perusahaan swasta yang mempekerjakan
Penyandang Disabilitas, antara lain kemudahan perizinan,
penghargaan, dan bantuan penyediaan fasilitas kerja yang
mudah diakses.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58 . . .
– 19 –
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fasilitas pelayanan kesehatan” adalah
suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “standar” adalah standar pelayanan,
profesi, dan prosedur operasional.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tenaga kesehatan dapat dikelompokkan sesuai dengan
keahlian dan keterampilan yang dimiliki, antara lain tenaga
medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga
kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga
gizi, tenaga keterapian fisik, dan tenaga keteknisan medis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 63 . . .
– 20 –
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “wajib merujuk kepada tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam
pelayanan kesehatan bagi Penyandang Disabilitas pada
fasilitas pelayanan kesehatan lain”, antara lain dengan
telemedisin, teleradiologi, dan telekardiologi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Yang dimaksud dengan “alat nonkesehatan” adalah alat-alat yang
digunakan untuk proses pemulihan sebagai terapi untuk
Penyandang Disabilitas.
Pasal 68 . . .
– 21 –
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Yang dimaksud dengan “tindakan medik” antara lain, pemberian
obat, fiksasi, isolasi, seklusi, dan terapi kejang listrik.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Yang dimaksud dengan “jabatan publik” adalah jabatan pada
badan publik negara yang meliputi lembaga eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
Pasal 77 . . .
– 22 –
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “taktil” adalah informasi dalam
bentuk sentuhan atau rabaan, misalnya huruf atau
lambang timbul.
Huruf b . . .
– 23 –
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kegiatan seni budaya meliputi pendidikan seni, sanggar
seni, pertunjukan seni, pameran seni, festival seni, dan
kegiatan seni lainnya secara inklusif baik yang
dilaksanakan di tingkat daerah, nasional, maupun
internasional.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91 . . .
– 24 –
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “fungsi hunian” adalah bangunan
gedung yang mempunyai fungsi utama sebagai tempat
tinggal, seperti apartemen, asrama, rumah susun, flat
atau sejenisnya harus mudah diakses oleh Penyandang
Disabilitas, namun tidak diwajibkan untuk rumah tinggal
tunggal dan rumah deret sederhana.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “fungsi keagamaan” adalah
bangunan gedung yang mempunyai fungsi utama sebagai
tempat melakukan ibadah, antara lain masjid, gereja,
pura, wihara, dan kelenteng.
Huruf c . . .
– 25 –
Huruf c
Yang dimaksud dengan “fungsi usaha” adalah bangunan
gedung yang mempunyai fungsi utama sebagai tempat
melakukan kegiatan usaha yang meliputi bangunan
gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian,
perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan
penyimpanan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “fungsi sosial dan budaya” adalah
bangunan gedung yang mempunyai fungsi utama sebagai
tempat melakukan kegiatan sosial dan budaya yang
meliputi bangunan gedung untuk pendidikan,
kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan
pelayanan umum.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “fungsi khusus” adalah
bangunan gedung yang mempunyai fungsi utama sebagai
tempat melakukan kegiatan yang mempunyai tingkat
kerahasiaan tinggi tingkat nasional atau yang
penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat
di sekitarnya dan/atau mempunyai risiko bahaya tinggi
meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi
pertahanan dan keamanan dan bangunan sejenis yang
diputuskan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
– 26 –
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “fasilitas untuk pejalan kaki yang
mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas” merupakan
prasarana moda transportasi yang penting, antara lain
trotoar dan penyeberangan jalan di atas jalan, pada
permukaan jalan, dan di bawah jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107 . . .
– 27 –
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
– 28 –
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “karakteristik pokok” adalah
keterangan pokok mengenai Penyandang Disabilitas seperti
jumlah, jenis kelamin, umur, status perkawinan, pendidikan,
jenis pekerjaan, dan sejenisnya yang diperoleh dari hasil
pendataan.
Yang dimaksud dengan “karakteristik rinci” adalah
keterangan rinci mengenai Penyandang Disabilitas seperti
menyangkut seluruh aspek keterangan pendidikan,
ketenagakerjaan, dan sejenisnya yang diperoleh dari hasil
pendataan dengan sampel terpilih.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Ayat (1)
Komunikasi dengan menggunakan cara tertentu, termasuk
penggunaan bahasa isyarat, bahasa isyarat raba, huruf
braille, audio, visual, atau komunikasi augmentatif atas dasar
kesetaraan dengan yang lainnya.
Ayat (2) . . .
– 29 –
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132 . . .
– 30 –
Pasal 132
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “advokasi”, antara lain dalam bentuk
penyadaran masyarakat, konsultasi, pemberian rekomendasi,
dan bimbingan teknis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 133
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pemangku kepentingan terkait”,
antara lain Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat,
organisasi Penyandang Disabilitas, organisasi
kemasyarakatan, dan badan hukum.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137 . . .
– 31 –
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148 . . .
– 32 –
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5871

Scroll to Top
Open chat
1
Selamat datang di FH-Trisakti Inklusif ada yang bisa kami bantu ?